Sinkronisasi Peran Pemerintah, Pelaku Usaha dan Masyarakat untuk Optimalisasi UU PPLH
BUMI Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal tesebut patutnya disyukuri oleh setiap warga Indonesia dengan cara menjaga kekayaan alam tersebut baik itu sumber daya alam yang dapat diperbaharui maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, selain peran masyarakat, pemerintah pun memiliki peran yang tak kalah penting sehingga kekayaan alam yang ada benar-benar dipergunakan untuk kepentingan rakyat bukan hanya bagi kehidupan saat ini saja, tetapi juga bagi kehidupan generasi yang akan datang.
Lingkungan yang bersih dan sehat tentunya diidamkan oleh setiap orang, dan pada dasarnya setiap orang memang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, sebagaimana yang dicita-citakan dan tercantum dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang berbunyi :
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Untuk memberikan kepastian hukum tersebut dibutuhkan Undang-undang yang jelas sehingga seseorang sebagai personalmaupun sebagai pelaku usaha memiliki batasan yang jelas mengenai hak dan kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pembaruan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tentu saja diharapkan dapat lebih melindungi lingkungan hidup sebagai hasil kerjasama antara masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah. Namun, pada kenyatannya, ternyata masih saja terjadi perusakan dan pencemaran lingkungan oleh pelaku usaha.
Dengan demikian maka perlu adanya evaluasi penyebab terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan meskipun negara kita telah memiliki aturan yang bisa dibilang cukup sempurna. Untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam pelaksanaan UUPLH ini, maka harus ada keseimbangan peran serta kesungguhan dalam melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing subjek sehingga UU PPLH ini benar-benar dapat dilaksanakan dengan baik.
Memang tidak ada yang sempurna, tapi pada dasarnya kita semua harus melaksanakan segala-sesuatu dengan sebaik-baiknya, masyarakat jangan hanya bisa menyalahkan pemerintah, atau sebaliknya pemerintah menyalahkan masyarakat karena kurangnya pengawasan terhadap pencemaran atau perusakan yang terjadi akibat dari suatu industri.
Pertama, Peran pemerintah terutama dalam hal pengawasan harus terus digalakkan.
Berbagai tugas pemerintah dengan jelas diatur dalam UU PPLH, dalam Bab IX diatur mengenai Tugas dan Wewenang Kepala Daerah, dan dalam Bab XII UU PPLH diatur mengenai pengawasan dan Sanksi Administratif. Aturan ini menjadi acuan bagi pemerintah untuk melaksanakan tugasnya terutama dalam memberikan izin usaha. Penting pula bagi pemerintah untuk melaksanakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) sehingga perusahaan yang beroperasi adalah perusahaan yang benar-benar telah memenuhi aturan yang terdapat dalam UU PPLH.
Tidak hanya pada saat awal pendirian dan pemberian izin saja pemerintah memiliki peran yang penting, tetapi setelah pelaksanaan/pengoperasian industri tersebut pemerintah juga harus memerhatikan dengan sungguh-sungguh dampak yang ditimbulkan dari suatu kegiatan industri.
Menjadi hal yang sangat penting, yaitu pemerintahan yang bersih yang tentunya diperlukan sehingga tidak ada celah bagi para pelaku usaha �nakal� untuk mengambil keuntungan bagi sebagian pihak saja sedangkan masyarakat malah dirugikan.
Kedua, Kemungkinan adanya pelaku usaha yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik.
Dalam Pasal 68 UU PPLH disebutkan bahwa:
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
l memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
l menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
l menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Setiap pelaku usaha hendaknya memenuhi kewajiban sebagaimana terdapat dalam pasal tersebut, terutama dalam memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga pemerintah juga terbantu dalam pengawasan lingkungan dan dapat mempredikisi sejauh mana kerusakan atau pencemaran lingkungan yang mungkin terjadi sehingga tidak merugikan banyak pihak.
Ketiga, dilematis antara pencemaran dan pekerjaan.
Sudah tidak asing lagi, meskipun negara Indonesia yang memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah ternyata di dalamnya masih terdapat masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Dalam keadaan seperti itu, tentunya masyarakat membutuhkan pekerjaan sekedar untuk �menambal perut�.
Keberadaan suatu perusahaan industri di sekitar wilayah pemukiman tentunya memberikan efek positif untuk mengurangi pengangguran. Masyarakat di sekitar wilayah industri bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan tersebut sebagai ekses dari adanya Corporate Social Responsibility(CSR), yaitu tanggung jawab perusahaan terhadap wilayah sekitarnya.
Tidak dapat dipungkiri, hal ini menjadi dilematis karena saat terjadi perusakan atau pencemaran lingkungan akibat dari kegiatan industri tersebut masyarakat sekitar tidak mau menggunakan haknya untuk memberikan laporan kepada pemerintah, padahal dalam Pasal 65 ayat (6) UUPPLH disebutkan bahwa.
Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ketidakinginan masyarakat untuk melaporkan terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup ini disebabkan masyarakat membutuhkan perusahaan industri tersebut sebagai mata pencaharian meskipun pada akhirnya masyarakat sendiri yang mengalami kerugian dari tercemarnya sumber daya di wilayah tempat tinggal mereka yang berefek pada banyaknya penyakit yang timbul. Kemiskinan dan kurangnya lahan pekerjaan menjadi salah satu penyebab tidak maksimalnya keberadaan UU PPLH ini.
Perlunya peningkatan kesadaran terhadap masyarakat berkaitan dengan terjadinya pencemaran atau perusakan akibat suatu kegiatan industri, bahwa pendapatan yang diperoleh tidaklah sebanding dengan kerugian yang akan diderita baik untuk saat ini maupun untuk saat yang akan datang karena pemulihan terhadap lingkungan hidup yang rusak/tercemar memerlukan waktu yang tidak sebentar. Apabila kita perhatikan, banyak pencemaran yang mungkin terjadi di kawasan industri, tak hanya pencemaran tanah, air, udara pun bisa tercemar. Ketercemaran tersebut memungkinkan banyaknya penyakit yang timbul, misalnya saja penyakit kulit seperti gatal-gatal, diare akibat konsumsi air yang tidak bersih, pernafasan pun bisa terganggu dengan tercemarnya udara, yang menjadi korban tentunya bisa siapa saja.
Keempat, memperkenalkan UU PPLH ini kepada masyarakat terutama bagi yang masih awam.
Masyarakat harus mengetahui adanya perlindungan dari pemerintah terhadap lingkungan hidup serta adanya sanksi bagi para pihak yang melakukan pelanggaran. Pengetahuan mengenai undang-undang ini sedikit demi sedikit bisa diperkenalkan dalam suatu sistem pendidikan maupun pengenalan kepada masyarakat melalui pemerintahan terkecil (RT/RW). Hal ini tentunya akan membantu pemerintah dalam pelaksanaan UU PPLH ini, ketika setiap orang semakin mengerti tentang adanya UU PPLH, maka tidak akan ada lagi pembodohan terhadap pihak-pihak yang kurang mengerti dan pencemaran lingkungan dapat dikendalikan.
Keseimbangan peranan merupakan hal yang penting dan juga menjadi penentu suksesnya eksistensi UU PPLH ini. Lingkungan hidup yang sehat tetap dapat tercipta, dan kegiatan berorientasi profit yang mungkin dapat mencemari lingkungan masih dapat berjalan dengan batasan baku mutu lingkungan.
DAMPAK TOKSIKAN BAHAN-BAHAN ORGANIK TERHADAP KESEHATAN KERJA
Kemajuan industri selain membawa dampak positif seperti meningkatnya pendapatan masyarakat dan berkurangnya pemgangguran juga mempunyai dampak negatif yang harus diperhatikan terutama menjadi ancaman potensial terhadap lingkungan sekitarnya dan para pekerja di industri. Salah satu industri tersebut adalah industri bahan-bahan organik yaitu metil alkohol, etil alkohol dan diol.
Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia adalah aset penting dari kegiatan industri, disamping modal dan peralatan. Oleh karena itu tenaga kerja harus dilindungi dari bahaya-bahaya lingkungan kerja yang dapat mengancam kesehatannya.
Metil alkohol dipergunakan sebagai pelarut cat, sirlak, dan vernis dalam sintesa bahan-bahan kimia untuk denaturalisasi alkohol, dan bahan anti beku. Pekerja-pekerja di industri demikian mungkin sekali menderita keracunan methanol. Keracunan tersebut mungkin terjadi oleh karena menghirupnya, meminumnya atau karena absorbsi kulit. Keracunan akut yang ringan ditandai dengan perasaan lelah, sakit kepala, dan penglihatan kabur, Keracunan sedang dengan gejala sakit kepala yang berat, mabuk, dan muntah, serta depresi susunan syaraf pusat, penglihatan mungkin buta sama sekali baik sementara maupun selamanya. Pada keracunan yang berat terdapat pula gangguan pernafasan yang dangkal, cyanosis, koma, menurunnya tekanan darah, pelebaran pupil dan bahkan dapat mengalami kematian yang diseabkan kegagalan pernafasan. Keracunan kronis biasanya terjadi oleh karena menghirup metanol keparu-paru secara terus menerus yang gejala-gejala utamanya adalah kabur penglihatan yang lambat laun mengakibat kan kebutaan secara permanen.
Nilai Ambang Batas (NAB) untuk metanol di udara ruang kerja adalah 200 ppm atau 260 mg permeterkubik udara.
Etanol atau etil alkohol digunakan sebagai pelarut, antiseptik, bahan permulaan untuk sintesa bahan-bahan lain. Dan untuk membuat minuman keras. Dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut keracunan akut ataupun kronis bisa terjadi oleh karena meminumnya, atau kadang-kadang oleh karena menghirup udara yang mengandung bahan tersebut, Gejala-gejala pokok dari suatu keracunan etanol adalah depresi susunan saraf sentral.Untunglah di Indonesia minum minuman keras banyak dihindari oleh pekerja sehingga ”problem drinkers” di industri-industri tidak ditemukan, NAB diudara ruang kerja adalah 1000 ppm atau 1900 mg permeter kubik.
Keracunan-keracunan oleh persenyawaan-persenyawaan tergolong alkohol dengan rantai lebih panjang sangat jarang, oleh karena makin panjang rantai makin rendah daya racunnya. Simptomatologi , pengobatan, dan pencegahannya hampir sama seperti untuk etanol.
Seperti halnya etanol , persenyawaan persenyawaan yang tergolong diol mengakibatkan depresi susunan saraf pusat dan kerusakan-kerusakan organ dalam seperti ginjal, hati dan lain lain. Tanda terpenting keracunan adalah anuria dan narcosis. Keracunan akut terjadi karena meminumnya, sedangkan keracunan kronis disebabkan penghirupan udara yang mengandung bahan tersebut. Pencegahan-pencegahan antara lain dengan memberikan tanda-tanda jelas kepada tempat-tempat penyimpanan bahan tersebut.
Keracunan toksikan tersebut diatas tidak akan terjadi manakala lingkungan kerja tidak sampai melebihi Nilai Ambang Batas dan pemenuhan standart dilakukan secara ketat.