Kolom Djoko Suud
Preman dan Petrus
Djoko Suud Sukahar - detikNews
Jakarta - Premanisme merajalela. Tarakan berdarah. Jalan Ampera berkalang tanah. Di Kalimalang Bekasi, pembawa bom meregang nyawa. Berbagai peristiwa itu menebarkan rasa resah. Kita jadi ingat peristiwa kelam ‘penembak misterius’ atau Petrus. Pola menumpas kejahatan dengan cara jahat. Adakah itu perlu?
Hari-hari ini aksi premanisme marak dimana-mana. Sebagai pertanda kepanikan sudah mendidih dan keprihatinan merambah berbagai sektor. Sensifitas itu teramat tinggi. Saban orang gampang marah dan tersinggung. Menganggap yang beda adalah lawan. Dan saudara atau teman hanyalah sebatas sesuku atau sepenanggungan. Fanatisme sempit itu yang sekarang tumbuh subur.
Di Tarakan, Kalimantan Timur, kriminal murni berubah SARA. Tawur massal mencekam warga. Bentrok rasial menghentikan denyut kota. Penduduk ramai mengungsi ke kantor polisi, markas tentara dan kantor pemerintahan. Gara-garanya ‘penghakiman’ sekelompok orang berbuntut perang etnis yang menewaskan lima orang.
Di Jakarta, perkelahian Blowfish di Plaza City pada April lalu berlanjut berlarut-larut. Tiga kali sidang perkara ini diwarnai keributan. Dan Rabu (29/9) pekan kemarin aksi itu mencapai puncak. Tawuran tergelar di jalanan depan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menewaskan tiga orang. Motif tawuran ini sama dengan Tarakan, ‘ketersinggungan antar etnis’.
Suku-suku yang berubah pemberang itu menjadikan situasi saban kota dililit ketakutan. Tak menutup kemungkinan bukan hanya suku Kalimantan, Bugis, Ambon dan Flores saja yang mudah tersinggung, tetapi juga suku-suku lain di Nusantara yang jumlahnya ratusan.
Sensifitas penyulut perang ras itu patut diduga hanyalah pelampiasan. Akar masalahnya adalah deraan hidup. Himpitan ekonomi di satu sisi, distimulasi banyaknya kasus-kasus korupsi pejabat yang divonis ringan, hukum yang masih dimain-mainkan, dan ketidak-tegasan aparat.
Situasi yang tak kondusif itu kian rawan saja tatkala terorisme menggoncang Medan dan ‘bom’ meledak di Kalimalang, Bekasi yang dikait-kaitkan dengan balas dendam kelompok radikal. Dari peristiwa itu lahir kesan teroris piawai menerapkan strategi gerilya kota dan aparat kedodoran bertindak preventif. Nyawa diobral murah untuk sebuah kepentingan. Dan ‘obral’ itu tidak menutup kemungkinan merenggut nyawa rakyat tak berkepentingan dan tidak berdosa.
Di tengah kegalauan batin itulah banyak yang berandai-andai kembali datangnya Petrus, penembak misterius. Sebuah operasi pemberantasan preman yang tidak diakui dioperatori siapa, oleh siapa, dan bagaimana teknis perolehan data korban. Kendati belakangan Pak Harto dalam ‘Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya’ mengakui itu atas inisiatif dan perintahnya untuk memberi shock therapy, tetapi soal yang lain semuanya tetap gelap.
Petrus memang momok bagi bromocorah, preman, gali, residivis, serta mereka yang bertatto. Itu karena banyak mayat tergeletak di tempat-tempat sepi. Ketika diidentifikasi, mayat itu rata-rata berlatar belakang hitam. Mereka adalah tukang pembuat onar.
Tahun delapan puluhan itu ratusan orang mati dengan cara ini. Mayatnya ditelanjangi, dimasukkan karung dan dibuang begitu saja di jalanan. Mayat itu spesifik. Dua jempol tangan, kaki diikat, sedang batok kepala berlobang tertembus pelor. Data yang berhasil direkap, tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, tahun 1984, 107 orang, dan tahun 1985, 74 orang tewas.
Akibat itu para preman ketakutan. Ada yang pulang kampung menjadi orang baik-baik. Atau kabur dari kampung halaman untuk menjadi manusia baru. Mengubur dalam-dalam masalalunya. Setelah itu memang premanisme langka terjadi. Hidup terlepas dari ketakutan dijahati orang.
Tapi premanisme dulu dan sekarang taklah sama motif, stimulasi, dan tentu kebijakan yang harus diambil. Barbarisme itu tidak perlu dilakukan dan bukan sebuah solusi. Selagi lapangan kerja terbuka luas, cukup nafkah, koruptor diganjar hukuman berat, dan aparat hukum tegas bertindak, maka dijamin premanisme mereda. Sebab kejahatan itu diindikasikan terbanyak bukan dilakukan ‘orang jahat’ tetapi akibat terbukanya kesempatan untuk berbuat jahat.
Namun jika pemerintah telah memenuhi kewajibannya memberi lapangan kerja, mencukupi nafkah, menghukum yang salah sesuai kesalahannya, dan tegas bertindak ternyata masih banyak kejahatan, maka itu tanda bahwa negeri ini memang banyak dihuni manusia jahat. Untuk itu sebelum bicara pola menumpas kejahatan, kita tanya dulu pemerintah, adakah kewajiban itu sudah dilakukan?
Instrospeksi memang sangat penting bagi yang berkuasa dan yang memerintah.
Djoko Suud Sukahar, budayawan menetap di Jakarta.
(nrl/nrl)
DAFTAR PUSTAKA
http://www.detiknews.com/read/2010/10/05/105822/1455823/103/preman-dan-petrus?n991102605